Apakah Kita Bisa Memahami Papua?

Oleh: Heronimus Heron

Selama satu hingga dua hari ini kita menyaksikan aksi massa masyarakat Papua di Sorong, Manokwari dan Jayapura merespon ucapan rasial yang terjadi di Malang, Surabaya dan Semarang. Aksi tersebut berujung pada pemblokiran jalan hingga pembakaran gedung DPRD Papua Barat.

Tentu kita sebagai bangsa menyayangkan masih terjadinya diskriminasi rasial dan provokasi SARA bagi teman-teman Papua. Padahal kita sama-sama manusia, hanya kultural yang berbeda.

Ras Papua

Secara rasial memang ada perbedaan kita dengan Papua. Jika Kalimantan, Jawa, Sumatera, Sulawesi masuk ras Austronesia maka Papua masuk dalam ras Melanesia. Namun pembagian wilayah berdasarkan ras sudah banyak ditentang seperti yang disampaikan oleh Luigi Luca Cavalli-Sforza (2000).

Menurutnya secara biologis hanya satu ras manusia modern yaitu Homo Sapiens, walau kemudian setiap populasi mengembangkan budaya untuk beradaptasi dengan lingkungannya.

Herawati Sudoyo dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman juga menyebutkan jika genetik Austronesia dan Melanesia tidak tunggal, melainkan ada pembauran genetika. Perbedaan budaya dan pola hidup berkaitan dengan respon manusia saat membaur dengan alam tempat tinggalnya.

Jika kita memahami adanya pembauran ras seharusnya tidak ada nada peyoratif satu sama lain. sebutan anjing, babi, monyet harus dihilangkan dari teman-teman Papua. Sama halnya kita juga tidak mau disebut demikian. Juga tidak ada budaya yang tinggi dan yang rendah.

Jika teman-teman Papua memakai koteka bukan berarti budayanya rendah, karena dari awal manusia yang mendiami pulau-pulau di nusantara juga menggunakan pakaian dari kulit kayu. Setiap budaya memiliki nilai-nilainya sendiri yang tidak bisa diukur dengan kacamata modern.

Mari kita sudahi ujaran kebencian dan rasial kepada teman-teman Papua. Kita dengan mereka sama sebagai manusia. Sebagai manusia, kita juga memiliki sifat-sifat binatang seperti naluri alamiah dan insting membela diri? Jika kita memiliki kecenderungan yang sama untuk menjadi binatang, mari kita saling menjaga sebagai sesama manusia.

Kesadaran Politik

Manusia adalah makhluk politik, zoon politikon, kata Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Politics. Kesadaran politik ialah kesadaran untuk mengelola kepentingan bersama dalam Polis. Artinya kesadaran politik teman-teman Papua adalah kesadaran untuk mengelola kepentingan bersama mereka di Papua.

Kenapa kesadaran politik ini muncul? Cukup banyak tulisan yang membahas sejarah kolonialisasi di Papua yang akhirnya dianggap aneksasi Indonesia. Peristiwa ujaran rasial kepada teman-teman Papua di Surabaya berawal dari gerakan politik mahasiswa Papua untuk memperingati New York Agreement pada 15 Agustus 1962.

Poin penting New York Agreement ialah Amerika Serikat berperan sebagai mediator meminta Belanda menyerahkan Papua yang waktu itu bernama Netherlands New Guinea ke United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Sementara Belanda diminta menarik pasukannya dari Papua, sedangkan pasukan Indonesia diperbolehkan bertahan di Papua tetapi di bawah koordinasi UNTEA.

Setelah peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto 12 Maret 1967, Soeharto menerbitkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Lalu lewat operasi yang dipimpin Ali Moertopo, maka pada 14 Juli 1969 diadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua.

Pepera untuk menentukan nasib Papua yang diikuti oleh 1.025 orang memilih integrasi dengan Indonesia. Setelah disahkannya UU penanaman modal asing maka Amerika Serikat melalui perusahaan tambangnya Freeport masuk dan menguras kekayaan alam Papua.

Pengetahuan akan sejarah dan pengalaman penghisapan yang dialami oleh rakyat Papua membuat para mahasiswa mengadakan aksi menuntut pertanggungjawaban Amerika. Namun gerakan politik para mahasiswa Papua malah direspon dengan sentimen SARA. Tentu ini jauh dari cita-cita sebuah bangsa yang adil dan beradab.

Bagaimana Memahami Papua?

Pengalaman ketertindasan teman-teman Papua hanya mereka yang bisa menceritakan dan merasakannya. Jika teman-teman Papua menuntut persoalan politik seharusnya direspon dengan tanggung jawab politik. Caranya bisa mengadakan dialog seluas-luasnya yang diwakili oleh seluruh kepala suku di Papua. Karena Papua bukan hanya sumber daya alamnya, tetapi ada manusia Papua yang hidup menurut kearifan lokalnya masing-masing.

Dialog ini tentu bisa dilaksanakan jika adanya jaminan rasa aman bagi teman-teman Papua. Adanya akses bagi para pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) untuk menyelidiki pelanggaran HAM di Papua. Jaminan adanya kebebasan berpendapat dan berkumpul sebagai salah satu penyangga demokrasi di papua. Dialog yang tidak hanya melibatkan elit politik di Papua, tetapi juga masyarakat adat Papua. Dengan begitu semoga kita bisa memahami Papua.

Penulis merupakan Peneliti di MINDSET Institute

Disadur dari : https://aquinasjogja.com/https-aquinasjogja-com-p966previewtrue/